Kamis, 07 Mei 2009

Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th


Asal Muasal Dosa Manusia

DOSA bukan ciptaan Allah; Allah tidak menciptakan dosa. Sebab, menurut Kejadian 1:31, segala yang dijadikan Tuhan adalah ‘sungguh amat baik’. Untuk menelusuri lebih lanjut mengenai asal mula dosa,

ada baiknya kita memberikan perhatian terhadap dosa iblis dan dosa manusia. Dosa iblis dan dosa manusia, dua-duanya adalah dosa, namun memiliki sejarah dan asal-usul yang berbeda. Dalam Alkitab, penjelasan mengenai keberadaan ‘dosa manusia’ lebih banyak dibandingkan dengan ‘dosa iblis’.

Yang biasa dipakai untuk memahami bagaimana iblis jatuh ke dalam dosa adalah penafsiran terhadap Yesaya 14:12-15 dan Yehezkiel 28:2-19. Di dalam Yesaya 14:12-14 digambarkan bagaimana (malaikat) Bintang Timur, putera Fajar, dipecahkan Tuhan dan jatuh ke bumi (ay. 12). Kesombongan diperlihatkannya ketika ia berkata dalam hatinya: “Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!” (Yes. 14:13-14). Ia juga berkata: “Aku adalah Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan…” (Yeh. 28:2). Memang hikmat dan pengertian yang dimilikinya melebihi Daniel, namun semuanya dipakainya untuk melawan Allah, Sang Penciptanya (Yeh. 28:4-5). Ia sombong karena kecantikan, hikmat, dan semaraknya (Yeh. 28:17). Oleh sebab itu, Tuhan menurunkannya ke dunia orang mati (neraka), ke tempat yang paling dalam di liang kubur (Yes. 14:15), di mana api menyala-nyala dan membakarnya sampai habis (Yeh. 28:18). Ketika iblis dijatuhkan ke bumi, ia diamati oleh bangsa-bangsa yang menjadi sangat takut terhadapnya (Yes. 14:16-17). Dan, dalam kejatuhannya itu, iblis mengajak para pengikutnya, yakni seperti dari seluruh jumlah malaikat yang ada, yang akhirnya menjadi roh-roh jahat (lih. Why. 12:4). Padahal, ‘malaikat yang jatuh’ itu tidak bercela di dalam tingkah lakunya sejak hari penciptaannya, sampai terdapat kecurangan padanya (Yeh. 28:15).

Sekalipun pandangan di atas merupakan suatu tafsiran saja, namun merupakan bentuk tafsiran yang paling dekat untuk menelusuri asal-usul dosa iblis. Dalam hubungannya dengan dosa manusia, kehadiran iblis yang paling awal adalah di taman Eden; tiba-tiba saja iblis sudah ada di sana (lih Kej. 3).

Jika demikian halnya bagaimana tahapannya sehingga manusia jatuh ke dalam dosa? Sebab, bukankah sebelumnya manusia itu diciptakan secara ‘sempurna’? Apa yang membuatnya disebut ‘berdosa’? Bila kita membaca Alkitab secara menyeluruh, terdapat paling tidak dua faktor pendukung sehingga manusia dapat jatuh ke dalam dosa.

Pertama, penggunaan kebebasan untuk memilih (free will) secara salah. Manusia adalah ciptaan Allah, namun tidak diciptakan sebagai makhluk yang sudah berdosa sejak awalnya. Di waktu selanjutnyalah manusia itu jatuh ke dalam dosa. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang mampu berbuat baik sebaik-baiknya namun mampu pula berbuat jahat sejahat-jahatnya. Kalaupun ada tuduhan terhadap Allah bahwa kemampuan manusia untuk berbuat dosa berasal daripada-Nya, namun jangan lupa bahwa manusia juga diberikan kemampuan yang sama untuk tidak berbuat dosa. Kepemilikan manusia terhadap kemampuan berbuat dosa dan kemampuan untuk tidak berbuat dosa bukan fifty-fifty (50% vs 50%), melainkan 100% berbanding 100%. Maksudnya, sedapat-dapatnya manusia berbuat baik, namun ia juga dapat berbuat jahat; sedapat-dapatnya manusia berbuat jahat, namun ia juga dapat berbuat baik.

Allah menciptakan manusia pada awalnya secara langsung (tanpa melalui proses kelahiran), yakni Adam dan Hawa. Namun, selanjutnya semua manusia diciptakan secara tidak langsung (melalui proses kelahiran). Penciptaan manusia secara tidak langsung terjadi lewat sistem reproduksi yang ditempatkan-Nya di dalam tubuh pria dan wanita dewasa. Sekalipun demikian masih ada ‘intervensi’ Allah (Kej.16:2; 30:2; I Sam. 1:5-6; 19-20; Ay. 1:21; Luk. 1:24-25). Dalam Kejadian 1:26-27 Allah berfirman bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah. Gambar dan rupa yang dimaksud di sini tentunya bukan secara fisik/jasmani, melainkan secara spiritual. Kesamaan manusia dengan Allah diperlihatkan melalui, pertama-tama, kepemilikan manusia atas ‘roh’ atau ‘nafas’ (nephesy) Allah. Selanjutnya kepemilikan manusia atas ‘rasio’, dan kebebasannya untuk memilih (free will), yang membuatnya sekaligus sebagai makhluk bermoral (a moral being), yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Oleh sebab itu, kejatuhan manusia ke dalam dosa merupakan suatu pilihan (choice) mereka. Sebenarnya, mereka dapat memilih untuk tidak berbuat dosa. Allah tidak memberikan kepada manusia hanya satu pilihan (yakni kejahatan), namun juga pilihan lain (yakni kebaikan). Lagi pula, secara filosofis, apabila hanya tersedia satu pilihan saja, bukan itu sebenarnya bukan pilihan lagi, melainkan suatu paksaan saja?

Semua manusia pada akhirnya adalah manusia berdosa. Bukti-bukti keberdosaan manusia itu diperlihatkan pada Alkitab, misalnya dalam Roma 3:10-18. Akibatnya, manusia kehilangan kemuliaan Allah di dalam dirinya. Dan, harus selalu diingat bahwa, kemuliaan itu hilang bukan sejak lahir, melainkan sejak ia berbuat dosa. Jadi, karena manusia berbuat dosa terlebih dahulu maka ia kehilangan kemuliaan Allah, bukan kehilangan kemuliaan Allah dahulu baru ia berbuat dosa. Manusia berdosa bukan ‘pada saat’ dilahirkan melainkan ‘setelah’ dilahirkan (Rm. 3:23).

Kedua, menuruti provokasi iblis. Iblis lebih dahulu berbuat dosa dibandingkan dengan manusia. Pada awalnya manusia tidak berbuat dosa, namun kemampuannya untuk memilih telah diprovokasi oleh iblis agar digunakan secara salah oleh mereka. Kenyataan inilah yang dengan sangat jelas diperlihatkan oleh Kejadian 3. Dalam hal ini, iblis bertindak sebagai ‘penggoda’. Namun si penggoda ini tidak memiliki kuasa untuk memaksakan kehendaknya. Sekalipun iblis terus-menerus berjuang untuk memengaruhi manusia agar mereka berbuat jahat, namun pilihan ada di tangan manusia itu sendiri; keputusan ada di tangan manusia. Memang, harus diakui bahwa kemampuan iblis menggoda manusia supaya melakukan dosa sangat tinggi; Iblis sangat kawakan dan berpengalaman dalam menggoda manusia. Pekerjaan jahat ini sudah dilakukannya selama ribuan tahun. Sekalipun demikian, iblis memiliki kelemahan strategis, yaitu tidak memahami apa yang terdapat di dalam hati manusia, melainkan hanya mampu menafsirkan bahasa dan tindak-tanduknya. Oleh sebab itu, manusia tidak berada di bawah penguasaan iblis. Iblis hanyalah si penggoda, si provokator, namun keputusan ada di tangan manusia. Itulah sebabnya, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, iblis tidak dapat dipersalahkan. Iblis memang akan dihukum, namun manusia yang berbuat dosa karena provokasi iblis harus mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya. Manusia tidak boleh melemparkan tanggung jawabnya kepada iblis yang menggodanya.

Setelah Kain membunuh Habel, adiknya, Tuhan menuntut kesalahan itu dari padanya. Tuhan berkata bahwa perbuatan dosa Kain dimulai dari keadaan hatinya yang panas, dan hatinya itu akan tetap panas bahkan semakin panas kalau ia melakukan dosa (Kej. 4:7-8). Kemampuan untuk menolak provokasi negatif dari iblis dimiliki oleh setiap orang. Ada orang yang menggunakannya dan ada orang yang tidak menggunakannya. Adam dan Hawa (Kej. 3), Kain (Kej. 4), dan Yudas Iskariot (dalam Injil-Injil) adalah orang-orang yang tidak menggunakannya, sementara Yusuf (Kej. 39) dan Yesus Kristus ketika menjadi manusia (Mat. 4) adalah contoh-contoh yang menggunakan daya tolaknya terhadap dosa.q

Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th


Karya Allah bagi Keselamatan Kita

Karya Allah bagi  Keselamatan Kita.jpg
Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th
KESELAMATAN dibutuhkan setiap manusia karena semua manusia sudah melakukan dosa (Rm.3:23-24). Keselamatan yang dimaksudkan di sini adalah keselamatan yang ber-sifat rohaniah. Selamat berarti tidak mengalami penyiksaan kekal atau kebinasaan di neraka sebagai huku-man atas dosa. Keselamatan yang demikian tidak dapat dikerjakan oleh manusia sendiri, melainkan membutuhkan pihak lain yang sanggup melakukannya, dalam hal ini Allah. Hanya Allah yang dapat berkarya bagi keselamatan manusia. Berbagai karya Allah tersebut terca-tat dalam Alkitab, dan dapat kita ditelusuri.
Secara umum, karya Allah bagi keselamatan manusia dapat dibagi dalam lima tahap:
(1) meng-adakan penyelamatan;
(2) meng-insyafkan pelanggaran;
(3) mendo-rong pengakuan;
(4) mengerjakan pembaharuan; dan
(5) memate-raikan pengakuan.

Pertama, Allah mengadakan penyelamatan melalui diri Anak-Nya Yesus Kristus. Manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Manusia memang sudah mengusahakan berbagai hal dan menggunakan berbagai cara, yang pada awalnya mereka anggap dapat menyelamat-kan mereka. Namun, sampai sejauh ini, tidak satu pun cara itu yang dapat membawa manusia kepada keselamatan, malahan justru dapat membuat mereka semakin jauh dari keselamatan. Salah satu cara yang dimaksud adalah ritualisme ke-agamaan (agama). Manusia di sepanjang masa pada awalnya berprasangka bahwa agama dapat menyelamatkan, namun ternyata tidak. Agama memang dibutuhkan oleh manusia, namun bukan seba-gai jalan keselamatan melainkan hanya sebagai penuntun hidup bermoral.
Ketidakmampuan manusia menyelamatkan dirinya membuat Allah berpikir keras untuk meno-long. Yohanes 3:16-17 berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” Ungkapan ‘Ia mengaruniakan’ menunjuk kepada kebaikan Allah. Maksudnya, Allah mengadakan penyelamatan secara sengaja dan tanpa pamrih. Hal ini didorong oleh kasih-Nya yang sangat besar.

Besarnya kasih Allah dilatar-belakangi oleh karena manusia adalah ciptaan Allah. Disebut sebagai ‘Anak-Nya yang tung-gal’ adalah untuk menegaskan bahwa jumlah dan bentuk dari Juruselamat tersebut adalah ‘satu’ atau ‘esa’. Artinya, Juru-selamat manusia yang disedia-kan Allah itu tidak lebih dari satu (hanya satu adanya), tidak bersifat kembar, juga tidak ada yang mirip dengan-Nya. Anak Allah yang ditentukan-Nya un-tuk menyelamatkan manusia itu datang menjadi manusia. Adalah Yusuf dan Maria yang dipilih-Nya untuk melahirkan-Nya. Awalnya, karena kebingungan melihat Maria mengandung bukan dari benihnya, Yusuf hendak men-ceraikannya diam-diam. “Tetapi ketika ia mempertimbangkan mak-sud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut meng-ambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan me-lahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, ka-rena Dialah yang akan menye-lamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:20-21).

Yesus Kristus, untuk menyela-matkan manusia dari dosa mereka, harus mati di kayu salib. Sebelum mati, Ia hidup sebagai manusia biasa. Ia yang sangat giat meng-adakan pelayanan bagi sebanyak-banyak orang, dengan cara meng-ajarkan kebenaran, menegakkan keadilan, mengadakan penyembu-han, dan mengadakan banyak mukjizat. Hingga kira-kira berumur 33 ½ tahun, Ia pun disalibkan.
Perlu diketahui bahwa masa itu, seseorang yang disalibkan adalah seorang yang dianggap terkutuk. Darah-Nya tercurah dan Ia mati mengenaskan setelah disiksa dan dipermalukan. Semua pihak yang berkedudukan tinggi dan berwenang menginterogasi dan mengadili-Nya, hanya untuk mencari kesalahan-Nya. Bahkan saksi-saksi palsu pun sudah didatangkan. Namun, tidak satu pun dari tuduhan atau dakwaan dapat menjerat-Nya. Sehingga, kematian-Nya pun terjadi bukan karena Ia bersalah tetapi karena dipaksa untuk disiksa oleh orang-orang Yahudi yang tidak memahami siapa diri-Nya. Namun Yesus Kristus tidak pernah mengeluh atas hal itu karena Ia tahu bahwa untuk itulah Ia datang ke dunia ini. Kematian tersebut adalah kematian karena dosa-dosa umat manusia; dosa manusialah yang ditanggung-Nya.

Kedua, Allah menginsyafkan manusia atas segala pelanggaran mereka. Manusia yang sudah hidup dalam dosa atau terbiasa melakukan dosa sudah sering lupa akan keberadaan dosanya. Untuk itu dibutuhkan suatu pribadi yang dapat mengingatkan atau meng-insyafkan mereka. Siapakah pihak yang dapat melakukan hal itu? Tentunya bukanlah diri manusia itu sendiri. Karena, bagaimana mungkin seseorang yang melaku-kan dosa menginsyafkan dirinya sendiri akan dosa yang diperbuat-nya? Hal itu tidak mungkin terjadi.

Selanjutnya, ada yang meng-anggap bahwa tugas ini dapat dilakukan oleh hati nurani. Pada mulanya hati nurani me-mang sesuatu yang berfungsi untuk menginsyafkan manusia dari dosa mereka. Namun, fungsi hati nurani ini sudah semakin rendah kualitasnya karena berbagai pengalaman pahit, kebodohan, dan kebe-balan manusia itu sendiri. Kini, hati nurani tidak dapat lagi dija-dikan sebagai penasihat atau penginsyaf bagi manusia atas dosa-dosa mereka. Ada juga pihak yang mengandalkan ma-nusia lain atau sesamanya untuk menginsyafkan dirinya akan dosa-dosanya. Hal ini pun akan sama tidak berhasilnya karena peringatan seseorang terhadap orang lain bersifat tidak lengkap dan tidak stabil. Penilaian sese-orang terhadap orang lain juga dapat berlebihan (bias) dan kabur (absurd). Contoh: Anda dapat me-ngatakan bahwa saya salah dan menegur saya akan kesalahan tersebut, namun belum tentu saya mau mendengarnya karena saya tidak menyukai Anda, karena tidak mengenal Anda, atau karena Anda bukan seorang figur yang baik bagi saya, bukan? Sebaliknya, Anda dapat menegur saya secara salah atau tidak tepat karena Anda hanya berusaha untuk menyenangkan hati saya.
Berbeda dengan beberapa hal di atas (yang dapat gagal menginsyafkan manusia akan dosa-dosa mereka), Roh Kudus adalah suatu Pribadi yang mau dan mam-pu menginsyafkan manusia akan dosa-dosa mereka. Yesus Kristus berkata dalam Yohanes 16: 8-11, “Kalau Ia datang, Ia akan meng-insafkan dunia akan dosa, kebe-naran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku; akan kebe-naran, karena Aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum.” Roh Kudus senantiasa menginsyaf-kan manusia dari dosa-dosa me-reka. Penginsyafan yang dilakukan Roh Kudus sulit dilawan atau ditolak oleh manusia berdosa karena penginsyafan itu dilakukan-Nya dengan lembut dan berhikmat. Dengan adanya Roh Kudus yang menginsyafkannya, maka semakin terbuka kesempatan bagi mereka untuk mengakuinya.

Manusia memiliki kemampuan untuk mengakui dosa dan harus mereka yang melakukannya. Na-mun, kemampuan ini tidak akan bekerja secara efektif apabila me-reka tidak terlebih dahulu diinsyaf-kan oleh Roh Kudus. Setelah ma-nusia diinsyafkan, barulah manusia dapat mengakui dosanya sehingga mereka akhirnya menerima peng-ampunan, seperti pesan Surat I Yohanes 1:8-9: “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Pembahasan ini akan saya lanjutkan pada artikel selanjutnya.v


* Penulis adalah Pendiri Sekolah Pengkhotbah Modern (SPM), Ketua STT Lintas Budaya, dan Pendiri Jakarta Breakthrough Community (JBC).

Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th



Etika, Etiket, Kode Etik, dan Estetika
HARUS diakui bahwa pengenalan dan pengertian masyarakat yang masih minim terhadap keberadaan etika sebagai suatu ilmu yang mandiri membuat etika seringkali diperbandingkan secara sama dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama padahal
sama sekali berbeda sekalipun masih memiliki kaitan. Berbagai istilah seperti etiket, kode etik, dan estetika sering terdengar diganti dengan istilah etika. Di sinilah letak pentingnya kita memahami dan menggunakan berbagai istilah seperti ini secara maksimal dan proporsional, Pertama, perlunya memahami etiket.
Etiket adalah sesuatu yang seringkali atau secara serta merta dihubung-hubungkan dengan etika. Padahal, etika dengan etiket memiliki pengertian dan hakikat yang sama sekali berbeda. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami pengertian etiket sehingga kita dapat menyusun secara tepat akan relasinya dengan etika. Relasi yang dimaksud di sini meliputi persamaan maupun perbedaannya.
Etiket berasal dari kata Perancis etiquette.
Etiket adalah perilaku yang dianggap pas, cocok, sopan, dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, dan gaya tidur. Namun, karena etiket seseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka etiket menjadi peraturan sopan santun dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan, kebisaaan, adat-istiadat, atau cara-cara tertentu yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan sesuatu. Contohnya sebuah etiket adalah memberi dengan tangan kanan. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ – hal yang prinsip dan universal adalah ‘memberi’ yang merupakan norma tentang perbuatan itu sendiri. Berbeda dengan etiket dalam memberi, dalam etika mencuri merupakan sesuatu yang tidak etis, tidak perduli pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Maksudnya, jika tidak ada saksi atau orang maka peraturan (kebisaaan) tidak berlaku. Contohnya adalah ketika seseorang menaruh kakinya di atas meja sementara ia duduk di atas kursi dan orang lain sama-sama duduk dengannya, maka hal ini menjadi suatu perbuatan yang tidak beretiket. Namun, tindakan seperti itu tidak menjadi persoalan ketika tidak ada yang melihatnya atau ketika ia hanya duduk sendirian. Berbeda dengan etiket, etika tidak tergantung pada hadirnya orang lain. Melakukan aksi pencurian misalnya, adalah contoh pelanggaran nilai etika. Etiket juga dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan, baik oleh perseorangan maupun oleh sekelompok masyarakat. Kebiasaan perseorangan, misalnya cara untuk memegang pena, makan siang atau malam (atau keduanya), cara makan, menulis dengan tangan kiri atau kanan, tata tertib pergaulan, dan cara perayaan pesta adalah contoh-contoh etiket sebagai suatu bentuk kebisaaan sosial atau adat tradisional
Etiket bersifat sangat relatif. Tidak sopan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi tidak menjadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Mendahak pada waktu makan merupakan pelanggaran terhadap etiket yang bersifat relatif, sementara membunuh atau mencuri merupakan pelanggaran terhadap etika yang bersifat absolut. Itulah sebabnya, di mana pun dan kapan pun membunuh dan mencuri merupakan hal yang dipersalahkan. Etiket lebih berhubungan dan melihat hal-hal yang bersifat lahiriah atau penampilan fisik, sementara etika lebih bersifat batiniah. Itulah sebabnya, dalam rangka beretiket bisa saja seseorang bersikap munafik (musang berbulu domba), sementara dari sudut etika munafik merupakan sesuatu yang tidak etis. Secara kualitatif, etiket adalah sesuatu yang bersifat kurang serius jika dibandingkan dengan etika.
Pelanggaran etiket merupakan pelanggaran terhadap adat atau kebisaaan suatu masyarakat tertentu. Sebaliknya, etika bersifat sangat serius. Pelanggaran etika merupakan pelanggaran terhadap moralitas yang dianut oleh masyarakat tertentu.
Etiket juga berhubungan sangat erat dengan sopan santun (kedudukan keduanya dapat berganti tempat). Oleh sebab itu, sopan santun juga berbeda dengan etika. Beberapa bentuk perbedaan antara sopan santun dan etika adalah: Pertama, sopan santun hanya menekankan penyesuaian lahiriah kepada norma-norma. Sedangkan etika melibatkan baik lahiriah maupun batiniah. Kedua, sopan santun bertujuan memperlancar atau mengharmoniskan pergaulan sosial di antara manusia. Sedangkan etika bertujuan untuk menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat lebih utuh dan bahkan lebih baik. Ketiga, sopan santun cenderung mengaburkan soal yang penting dan tidak penting. Ada kalanya sopan santun mengutamakan yang kurang penting. Misalnya, menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa, atau mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu. Berbeda dengan sopan santun, etika lebih memperlihatkan soal-soal yang pengaruhnya lebih besar (baik atau buruk), mengenai kasih, kesetiaan, kedamaian, dan kejujuran.
Kedua, perlunya memahami kode etik.
Kode etik adalah suatu aturan main atau tata tertib dalam suatu kinerja, gugus tugas atau bisnis tertentu. Kode etik disusun dalam rangka menjaga suatu kualitas, reputasi, martabat, dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam suatu departemen, denominasi, gereja, lembaga, sekolah, organisasi, institusi, paguyuban, atau profesi tertentu. Jumlah kode etik dengan demikian sangatlah banyak, misalnya: kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik kependetaan, kode etik pegawai pemerintah, kode etik perbankan, kode etik konseling, dan banyak lagi.
Berbeda dengan kedudukan etiket yang rendah jika dibandingkan dengan etika, tidak demikian dengan kode etik. Kode etik adalah suatu istilah atau konsep yang juga perlu dipelajari dalam studi etika. Keberadan ‘kode etik’ dapat diposisikan di antara etika dan etiket. Kode etik merupakan suatu ‘konsensus yang disepakati bersama dan bersifat mengikat para anggota atau komponen suatu kelompok tertentu, namun tidak mengikat pihak lainnya. Itulah sebabnya kode etik bersifat institusional-terbatas.
Pelanggaran terhadap kode etik tentunya akan mendapat sanksi atau hukuman. Pada umumnya, pelanggaran terhadap kode etik tidak disamakan dengan pelanggaran etika atau hukum positif tertentu. Hukuman dapat berupa kecaman sosial-psikologis, dapat berupa penurunan atau penundaan kenaikan jabatan, pemecatan dari keanggotaan, denda dengan uang atau materi, atau diskors. Namun, ada kalanya pelanggaran kode etik juga sekaligus sebagai pelanggaran etika dan hukum positif.
Ketiga, perlunya memahami estetika. Estetika, dibandingkan dengan etiket dan kode etik, jauh lebih lemah kualitasnya jika direlasikan dengan etika. Estetika adalah suatu pandangan mengenai pantas atau tidak pantasnya sesuatu ditinjau dari sudut keindahan dan kegunaan. Estetika berhubungan dengan penggunaan secara tepat dan efisien semua assesoris tubuh atau tempat yang di dalamnya manusia berada. Estetika meliputi penggunaan warna, jenis pakaian (pesta atau perkabungan), model rambut, bentuk rumah, dekorasi panggung, pengaturan tempat duduk, dan lain-lain.
Estetika seseorang atau suatu kelompok masyarakat tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan, kecerdasan, manajemen, pendidikan, bakat, seni, modernitas, temperamen dasar, pengalaman, dan falsafah hidup. Estetika lebih bersifat pribadi daripada bersifat umum. Hal inilah yang membuat estetika menjadi sangat lemah ‘kualitasnya’. Begitu lemahnya kualitas estetika, jika dibandingkan dengan etika, membuat hampir-hampir tidak ada yang dapat dihukum bagi yang melanggarnya. Namun, estetika adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari dan dimiliki setiap orang secara jelas dan bertanggung jawab. Estetika pribadi juga membutuhkan sosialisasi terhadap orang lain agar tidak mengundang tanda tanya dan kesalahpahaman. Di sisi lain, estetika membutuhkan kemakluman atau perasaan maklum dari pihak lain.