
Asal Muasal Dosa Manusia
DOSA bukan ciptaan Allah; Allah tidak menciptakan dosa. Sebab, menurut Kejadian 1:31, segala yang dijadikan Tuhan adalah ‘sungguh amat baik’. Untuk menelusuri lebih lanjut mengenai asal mula dosa,
ada baiknya kita memberikan perhatian terhadap dosa iblis dan dosa manusia. Dosa iblis dan dosa manusia, dua-duanya adalah dosa, namun memiliki sejarah dan asal-usul yang berbeda. Dalam Alkitab, penjelasan mengenai keberadaan ‘dosa manusia’ lebih banyak dibandingkan dengan ‘dosa iblis’.
Yang biasa dipakai untuk memahami bagaimana iblis jatuh ke dalam dosa adalah penafsiran terhadap Yesaya 14:12-15 dan Yehezkiel 28:2-19. Di dalam Yesaya 14:12-14 digambarkan bagaimana (malaikat) Bintang Timur, putera Fajar, dipecahkan Tuhan dan jatuh ke bumi (ay. 12). Kesombongan diperlihatkannya ketika ia berkata dalam hatinya: “Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!” (Yes. 14:13-14). Ia juga berkata: “Aku adalah Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan…” (Yeh. 28:2). Memang hikmat dan pengertian yang dimilikinya melebihi Daniel, namun semuanya dipakainya untuk melawan Allah, Sang Penciptanya (Yeh. 28:4-5). Ia sombong karena kecantikan, hikmat, dan semaraknya (Yeh. 28:17). Oleh sebab itu, Tuhan menurunkannya ke dunia orang mati (neraka), ke tempat yang paling dalam di liang kubur (Yes. 14:15), di mana api menyala-nyala dan membakarnya sampai habis (Yeh. 28:18). Ketika iblis dijatuhkan ke bumi, ia diamati oleh bangsa-bangsa yang menjadi sangat takut terhadapnya (Yes. 14:16-17). Dan, dalam kejatuhannya itu, iblis mengajak para pengikutnya, yakni seperti dari seluruh jumlah malaikat yang ada, yang akhirnya menjadi roh-roh jahat (lih. Why. 12:4). Padahal, ‘malaikat yang jatuh’ itu tidak bercela di dalam tingkah lakunya sejak hari penciptaannya, sampai terdapat kecurangan padanya (Yeh. 28:15).
Sekalipun pandangan di atas merupakan suatu tafsiran saja, namun merupakan bentuk tafsiran yang paling dekat untuk menelusuri asal-usul dosa iblis. Dalam hubungannya dengan dosa manusia, kehadiran iblis yang paling awal adalah di taman Eden; tiba-tiba saja iblis sudah ada di sana (lih Kej. 3).
Jika demikian halnya bagaimana tahapannya sehingga manusia jatuh ke dalam dosa? Sebab, bukankah sebelumnya manusia itu diciptakan secara ‘sempurna’? Apa yang membuatnya disebut ‘berdosa’? Bila kita membaca Alkitab secara menyeluruh, terdapat paling tidak dua faktor pendukung sehingga manusia dapat jatuh ke dalam dosa.
Pertama, penggunaan kebebasan untuk memilih (free will) secara salah. Manusia adalah ciptaan Allah, namun tidak diciptakan sebagai makhluk yang sudah berdosa sejak awalnya. Di waktu selanjutnyalah manusia itu jatuh ke dalam dosa. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang mampu berbuat baik sebaik-baiknya namun mampu pula berbuat jahat sejahat-jahatnya. Kalaupun ada tuduhan terhadap Allah bahwa kemampuan manusia untuk berbuat dosa berasal daripada-Nya, namun jangan lupa bahwa manusia juga diberikan kemampuan yang sama untuk tidak berbuat dosa. Kepemilikan manusia terhadap kemampuan berbuat dosa dan kemampuan untuk tidak berbuat dosa bukan fifty-fifty (50% vs 50%), melainkan 100% berbanding 100%. Maksudnya, sedapat-dapatnya manusia berbuat baik, namun ia juga dapat berbuat jahat; sedapat-dapatnya manusia berbuat jahat, namun ia juga dapat berbuat baik.
Allah menciptakan manusia pada awalnya secara langsung (tanpa melalui proses kelahiran), yakni Adam dan Hawa. Namun, selanjutnya semua manusia diciptakan secara tidak langsung (melalui proses kelahiran). Penciptaan manusia secara tidak langsung terjadi lewat sistem reproduksi yang ditempatkan-Nya di dalam tubuh pria dan wanita dewasa. Sekalipun demikian masih ada ‘intervensi’ Allah (Kej.16:2; 30:2; I Sam. 1:5-6; 19-20; Ay. 1:21; Luk. 1:24-25). Dalam Kejadian 1:26-27 Allah berfirman bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah. Gambar dan rupa yang dimaksud di sini tentunya bukan secara fisik/jasmani, melainkan secara spiritual. Kesamaan manusia dengan Allah diperlihatkan melalui, pertama-tama, kepemilikan manusia atas ‘roh’ atau ‘nafas’ (nephesy) Allah. Selanjutnya kepemilikan manusia atas ‘rasio’, dan kebebasannya untuk memilih (free will), yang membuatnya sekaligus sebagai makhluk bermoral (a moral being), yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Oleh sebab itu, kejatuhan manusia ke dalam dosa merupakan suatu pilihan (choice) mereka. Sebenarnya, mereka dapat memilih untuk tidak berbuat dosa. Allah tidak memberikan kepada manusia hanya satu pilihan (yakni kejahatan), namun juga pilihan lain (yakni kebaikan). Lagi pula, secara filosofis, apabila hanya tersedia satu pilihan saja, bukan itu sebenarnya bukan pilihan lagi, melainkan suatu paksaan saja?
Semua manusia pada akhirnya adalah manusia berdosa. Bukti-bukti keberdosaan manusia itu diperlihatkan pada Alkitab, misalnya dalam Roma 3:10-18. Akibatnya, manusia kehilangan kemuliaan Allah di dalam dirinya. Dan, harus selalu diingat bahwa, kemuliaan itu hilang bukan sejak lahir, melainkan sejak ia berbuat dosa. Jadi, karena manusia berbuat dosa terlebih dahulu maka ia kehilangan kemuliaan Allah, bukan kehilangan kemuliaan Allah dahulu baru ia berbuat dosa. Manusia berdosa bukan ‘pada saat’ dilahirkan melainkan ‘setelah’ dilahirkan (Rm. 3:23).
Kedua, menuruti provokasi iblis. Iblis lebih dahulu berbuat dosa dibandingkan dengan manusia. Pada awalnya manusia tidak berbuat dosa, namun kemampuannya untuk memilih telah diprovokasi oleh iblis agar digunakan secara salah oleh mereka. Kenyataan inilah yang dengan sangat jelas diperlihatkan oleh Kejadian 3. Dalam hal ini, iblis bertindak sebagai ‘penggoda’. Namun si penggoda ini tidak memiliki kuasa untuk memaksakan kehendaknya. Sekalipun iblis terus-menerus berjuang untuk memengaruhi manusia agar mereka berbuat jahat, namun pilihan ada di tangan manusia itu sendiri; keputusan ada di tangan manusia. Memang, harus diakui bahwa kemampuan iblis menggoda manusia supaya melakukan dosa sangat tinggi; Iblis sangat kawakan dan berpengalaman dalam menggoda manusia. Pekerjaan jahat ini sudah dilakukannya selama ribuan tahun. Sekalipun demikian, iblis memiliki kelemahan strategis, yaitu tidak memahami apa yang terdapat di dalam hati manusia, melainkan hanya mampu menafsirkan bahasa dan tindak-tanduknya. Oleh sebab itu, manusia tidak berada di bawah penguasaan iblis. Iblis hanyalah si penggoda, si provokator, namun keputusan ada di tangan manusia. Itulah sebabnya, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, iblis tidak dapat dipersalahkan. Iblis memang akan dihukum, namun manusia yang berbuat dosa karena provokasi iblis harus mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya. Manusia tidak boleh melemparkan tanggung jawabnya kepada iblis yang menggodanya.
Setelah Kain membunuh Habel, adiknya, Tuhan menuntut kesalahan itu dari padanya. Tuhan berkata bahwa perbuatan dosa Kain dimulai dari keadaan hatinya yang panas, dan hatinya itu akan tetap panas bahkan semakin panas kalau ia melakukan dosa (Kej. 4:7-8). Kemampuan untuk menolak provokasi negatif dari iblis dimiliki oleh setiap orang. Ada orang yang menggunakannya dan ada orang yang tidak menggunakannya. Adam dan Hawa (Kej. 3), Kain (Kej. 4), dan Yudas Iskariot (dalam Injil-Injil) adalah orang-orang yang tidak menggunakannya, sementara Yusuf (Kej. 39) dan Yesus Kristus ketika menjadi manusia (Mat. 4) adalah contoh-contoh yang menggunakan daya tolaknya terhadap dosa.q

